Minggu, 02 Juli 2017

HAKEKAT MANUSIA 



Image result for hakikat manusia menurut feuerbach

MENURUT LUDWIG ANDREAS FEUERBACH



Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) adalah seorang filsuf-ateis yang lahir di Bavaria, Jerman. Pada usia muda ia tertarik dengan soal-soal keagamaan. Setelah usia 19 tahun, ia pergi ke Heidelberg University untuk belajar teologi. Pada tahun 1824, Feuerbach pindah ke Berlin, dimana ia mengikuti kuliah-kuliah Hegel. Ia pun mulai meminati filsafat, dan meninggalkan teologi.

Tesis utama Feurbach tentang Allah demikian: Allah adalah hasil pikiran manusia dan bukan sebaliknya. Perihal adanya manusia adalah realitas konkret yang tidak terbantahkan, an sich. Inilah dasar kritik Feuerbach yang membawanya pada sebuah konklusi bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia tetapi Allah adalah hasil/ ciptaan angan-angan manusia

Allah Sebagai Proyeksi Diri Manusia memiliki kemampuan merefleksikan hakikatnya sendiri. Hal ini berarti bahwa manusia sadar diri. Hakikat manusia bagi Feuerbach terdiri dari rasio, kehendak dan hatinya. Rasio, kehendak dan hati ini dapat diidealisasikan sampai tak terhingga. Tampak bahwa gambar yang ideal dari hakikat manusia kemudian dianggap sebagai sifat-sifat yang melekat dalam diri Allah. Allah dijustifikasi sebagai Yang Tertinggi, Maha Sempurna, yang memiliki semua sifat ideal dari cita-cita hakikat diri manusia. Dalam pandangan Feuerbach, Allah yang digambarkan oleh manusia di sini adalah manifestasi dari angan-angannya akan entitas tertinggi yang sifatnya melampaui dirinya. Jelas bagi Feuerbach bahwa Allah adalah proyeksi dari kehendak manusia, karena sifat-sifat yang digambarkan manusia sebagai identitas Allah adalah bentuk sempurna dari hakikatnya sendiri. Hakikat Allah adalah hakikat manusia yang telah dibersihkan dan disuling dari segala keterbatasan atau ciri individualnya lalu dianggap sebagai kenyataan otonom yang berdiri di luar manusia. Manusia mengobjektifkan hakikatnya dalam suatu subjek fantastis, hasil khayalannya semata-mata. Dan itulah Allah dalam pemahaman Feuerbach. Karena Allah adalah substansi ideal dari hakikat diri manusia, maka agama adalah mimpi, fantasi manusia yang menggambarkan situasi manusia yang serentak menyadari sumber kepuasan bagi keinginan untuk mengatasi situasi deritanya, ketergantungannya. Ia berusaha mengatasinya dengan meneriakkan pada tujuan imajinasinya, yakni agama.  Manusia pada gilirannya berpaling pada agama karena menemukan bahwa mereka bebas dari deritanya dalam fantasi-fantasinya. Karena agama menggambarkan sebuah keinginan, agama adalah pelarian manusia mencari di surga apa yang tidak dapat ditemukan di bumi sebagai kompensasi frustrasinya. Di sini, agama adalah suatu ungkapan ketergantungan. Agama adalah konsekuensi dari pengakuan manusia akan keterbatasannya. Manusia Mengalami Alienasi Dengan menempatkan bentuk sempurna dari hakikat dirinya sebagai hakikat Allah, maka manusia mengalami alienasi. Manusia mengakui dalam Allah apa yang diingkari dalam dirinya. Karena Tuhan adalah cinta, kita harus membaca cinta itu Ilahi, karena Tuhan terharu, kita harus membaca keharuan adalah Ilahi, yaitu sesuatu yang bernilai, megah, baik pada dirinya.  Menurut Feuerbach daya-daya ini (bernilai, megah, baik) ditempatkan melebihi dan mengatasi manusia serta mentransformasikannya ke dalam pribadi Ilahi yang dibedakan dari manusia. Agama adalah ekspresi keterasingan manusia. Sejak daya-daya Allah identik dengan daya-daya manusia terjadi apa yang ia sebut "memperkaya Allah sambil memiskinkan diri atau substansi manusiawinya". Dengan demikian manusia mengakui dalam Tuhan apa yang ia sangkal dalam dirinya sendiri. 

Dengan memproyeksikan dirinya ke luar (ke dalam sifat-sifat Allah), maka manusia membangun tembok pemisah dengan dirinya sendiri, menganggap hal-hal yang diproyeksikannya sebagai sesuatu yang lain dari dirinya. Manusia lalu merasa bahwa hasil proyeksinya itu menghadapi dirinya sebagai objek. Manusia mendapati dirinya lebih rendah, memiluhkan, menyedihkan, penuh dosa daripada hasil proyeksi dirinya. Di situ pula, ia menyadari ketidaksanggupannya untuk mencapai hakikat dirinya yang utuh. Proyeksi dirinya dianggap sebagai eksistensi yang ada pada dirinya, yang disembahnya, ditakuti, dihormati sebagai Allah. Karena manusia menjadi takut, ia seakan-akan menjadi lumpuh; ia tidak berusaha untuk mewujudkan diri sendiri sesuai dengan gambarannya itu. Dari pada merealisasikan hakikatnya, ia secara pasif mengharapkan berkah daripadanya. Ia mengasingkan sifat-sifat dari hakikatnya pada Allah dan menyembah Allah sebagai yang mahakuat, maha adil. Keyakinaan ini mencegah manusia untuk merealisasikan hakikatnya karena ia diblokir oleh pengakuan akan ketidakmampuannya untuk mengejar kesempurnaan hakikatnya. Manusia merasa terasing dari dirinya sendiri. Karena Allah adalah alienasi diri manusia dari dirinya sendiri, agama tentu adalah sebuah kenyataan yang harus diatasi oleh manusia sendiri. Manusia bisa mengatasi keterasingannya itu kalau ia sadar akan hakikatnya sendiri. Tanggapan Feuerbach telah berhasil memberi pendasaran ilmiah bagi ateisme. Kata Feuerbach, "Bila manusia ingin menemukan kepuasan di dalam Allah ia harus menemukan dirinya di dalam Allah". Ia juga menjelaskan hakikat yang palsu atau teologis dari agama, artinya, pandangan yang menganggap Allah mempunyai keberadaan yang terpisah di luar manusia. Karena itu muncullah berbagai keyakinan yang keliru, seperti keyakinan akan wahyu yang menurutnya tidak hanya merusak pemahaman moral, tetapi juga "meracuni, bahkan menghancurkan, perasaan yang paling ilahi dalam manusia, yaitu pengertian tentang kebenaran". Keyakinan akan sakramen seperti Perjamuan Kudus, juga dilihat oleh Feuerbach sebagai sepotong materialisme keagamaan yang "konsekuensinya mau tak mau adalah takhyul dan imoralitas". Namun, meskipun Feuerbach melihat Allah sebagai proyeksi dari diri manusia, ini tidak berarti bahwa Allah itu tidak lebih dari sekedar proyeksi. Feuerbach pun belum menyentuh pertanyaan ini; apakah memang Allah itu tidak lebih daripada sekedar proyeksi diri mansuaia? Pertanyaan dasariah apakah Allah itu ada atau tidak, juga belum ia sentuh. Feuerbach hanya berusaha mengidentifikasi Allah sebagai hasil angan-angan manusia. Ia hanya bisa mengatakan bahwa Allah bisa dimanipulasi oleh orang beragama  yang merasa terblokir dambaannya. Oleh karena itu seandaianya Allah itu memang ada, maka tentu tidak ada salahnya jika manusia itu menyembahnya, menyandarkan diri pada-Nya sebagai entitas tertinggi, yang lebih dari sekedar proyeksi diri manusia. Justru dalam pengakuannya akan Allah (jika Allah benar-benar ada) manusia menemukan jati dirinya. Di sisi lain, seandainya memang Allah adalah proyeksi diri manusia, maka sulitlah untuk menjelaskan bahwa sifat-sifat sempurna yang kita lekatkan pada Allah niscaya dapat diraih oleh manusia. Manusia pada dasarnya makhluk terbatas, dan bagi orang beragama (yang mengakui Allah), maka hal yang khas bagi Allah adalah keberadaanya yang tak terhingga. Dan manusia sebagai makhluk yang terbatas, dalam lingkup pengalaman inderawinya, tidak pernah mengalami apa yang tak terhingga itu. Maka, tidak mungkin bahwa hakikat tak terhingga (yang ditunjukkan dengan kata maha-) itu sebagai proyeksi dari hakikat manusia karena hakikat ketakterhinggaan dalam kemanusiaan tidak ada. Dapat dikatakan bahwa manusia bisa beragama dan percaya pada Allah justru karena kemampuan jiwanya melampaui batas-batas kemampuan empiris-indrawinya. Atau dalam pandangan antropologis filosofis modern manusia adalah makhluk yang  mempunyai dimensi transenden justru karena ia mempunyai jiwa sebagai prinsip unifikasi yang imaterial sifatnya dan terbuka secara tidak terbatas pada "ada", bahkan pada Ada Tertinggi, Allah sendiri. 

Dengan mengatakan Allah sebagai proyeksi dari angan-angan  manusia akan hakikatnya yang sempurna, maka Feuerbach jatuh dalam antropologi yang justru mempermiskin pemahaman mengenai manusia. Manusia bagi Feuerbach hanya dilihat sebagai makhluk inderawi. Ia dilepasakan dari kemampuan lain di luar kemampuan inderawinya. Itu semua tidak diperhatikan Feuerbach. "Secara tegas dapat dikatakan, manusia bagi Feuerbah adalah manusia kurus, materialistik, tidak kaya, dan monodimensional."Ia mengajarkan suatu antropologi yang berpretensi memperkaya manusia. Namun ironinya, antropologi Feuerbach malah mempermiskin manusia--justru lantaran ia membuang agama dari padanya. Meski demikian konsep Allah sebagai proyeksi diri manusai ada manfaatya juga bagi orang-orang beriman. Kerapkali orang beriman (terutama para pemimpin) melakukan sesuatu atas nama Allah, padahal itu adalah pantulan dari kehendaknya sendiri untuk berkuasa, mendominasi dan mendapat kepuasan batin atau mungkin juga demi pemenuhan hidden needs dalam dirinya. 

Fantasi saleh yang keterlaluan-bukan tindak mngkin merupakan pelarian khayal dari kemalasan dan ketakutan untuk  berusaha. Maka bagi orang bergama, sisi  positif dari konsep Feuerbach adalah diajak bahkan didesak untuk mawas diri dan wapada terhadap laku hidup beragam karena Allah itu yang dijadikan sebagai sandaran nilai-nilai adalah hasil proyeksi dari kehendak manusia sendiri.

Kesadaran Manusia

Menurut Ludwig Feuerbach manusia memiliki totalitas hakikat manusia yang sejati. Hal itu terungkap dalam akal budi, kehendak dan hati yang ada pada diri manusiawi. Pendapat ini seolah menerima kenyataan lain di luar empiris. Namun kesan ini tidaklah benar karena hati berkaitan dengan cinta atau perasaan. Hati yang berkaitan dengan cinta atau perasaan dikategorikan ke dalam bidang pengalaman konkret (indrawi). Apakah akal budi dan kehendak itu kenyatan rohaniah? Ia mengatakan bahwa akal budi dan kehendak adalah akativitas jiwa, namun sifatnya bukan empiris karena jiwa itu sendiri satuan menyeluruh dari semua indra. Keindrawian adalah hakekat manusia.

Kenyataan yang konkret itu adalah alam material. Alam material dapat diketahui oleh pikiran; objek dapat diketahui melalui subjek yang sadar. Alam material adalah dasar bagi kesadaran. Manusia mampu membedakan dirinya dari alam dan manusia mampu merefleksikan dirinya. Ketika manusia mampu merefleksikan dirinya, ternyata manusia sadar bahwa dirinya mempunyai keterbatasan-keterbatasan.

Bagi Feuerbach, kemanusiaan, yang diproyeksikan pada sosok Allah dalam agama, merupakan sesuatu yang positif karena melalui kemanusiaan, manusia bisa melihat hakikatnya yang sebenarnya. Namun, kesadaran manusia akan hal itu justru ditenggelamkan oleh kekuatan dogma-dogma agama. Akibatnya, manusia lupa bahwa proyeksi itu adalah dirinya sendiri dan manusia menganggap proyeksi itu sebagai sesuatu yang real. Manusia menjadi terasing dengan hakikatnya sendiri bahkan takut dan menjadi lumpuh di hadapan proyeksinya sendiri. Manusia memohon berkah dari proyeksinya secara pasif tanpa ada upaya realisasi atas potensi-potensi yang ia miliki. Agama adalah batu sandungan bagi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.
AGAMA BAGI FEUERBACH

Agama menurut Feuerbach merupakan suatu gambaran akan keinginan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia.

Kebijaksanaan, karsa, keadilan, cinta kasih, sekian banyak atribut kekal yang seluruhnya merupakan hakikat manusia yang sesungguhnya, dan yang (oleh manusia) diproyeksikan secara spontan di luar dirinya; ia mengobjektifkan hakikat itu dalam suatu subjek fantastis, suatu hasil khayalan semata- mata yang disebutnya Allah. Maka dari itu inteligibilitas tertinggi menjadi sesuatu yang “sungguh- sungguh terdapat di luar pikiran kita, di luar kita, dalam dirinya dan demi dirinya”.

Teori proyeksi dari Feuerbach diambil alih oleh Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre. Tetapi pendapat Feuerbach tentang peranan agama cukup berbeda dari pendapat mereka. Menurut Feuerbach agama mengajar betapa agung manusia. Semua mimpi manusia diberi bentuk dan nama dalam Allah.” Allah itu bukan asal manusia. Manusia justru asal Allah.

KRITIK ATAS TEORI PROYEKSI
  •  Sekalipun Feuerbach memakai bermacam- macam dokumentasi, namun dia tidak pernah sungguh- sungguh mengajukan bukti tentang apa yang diakuinya secara tegas. ”Dokumentasinya tidak dipergunakan untuk membangun sesuatu, melainkan untuk mengilustrasikan beberapa tesis yang sudah ditetapkan lebih dahulu. Keputusannya sudah diambil sebelum ia mengangkat pena: agama itu hanya dapat berupa suatu ilusi belaka”.
  •  Dia menggunakan gagasan agama dengan cara yang sama sekali tidak membeda- bedakan, dengan menggolongkan semua agama ke dalam ketegori teisme. Dia tidak berusaha untuk membedakan antara Allah menurut iman agama- agama monoteis dan dewa- dewa agama primitif. Dengan demikian, dia tidak menghormati realitas historis kenyataan religious.
  •  Dia hendak kembali kepada manusia konkret. Tetapi sesungguhnya, dia hanya membahas manusia sebagai hakikat generik: objek sejati agama, menurutnya, bukanlah Allah, melainkan hakikat manusia ideal. Tentang hal ini Engels kemudian berkata,”kultus manusia abstrak merupakan pusat agama baru menurut Feuerbach.”
  •  Adapun kepuasan- kepuasan yang dijanjikan oleh Feuerbach untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kebahagiaan mutlak bersifat khayalan saja. Feuerbach merampas individu konkret (satu- satunya yang bereksistensi) dari rasanya untuk yang mutlak. Dengan demikian, dia memperlihatkan dengan jelas bahwa, jikalau Allah ditolak, ditolak juga semua fundamen yang bisa mendasarkan nilai riil kepribadian manusiawi. Individu konkret tidak masuk hitungan lagi, sedangkan suatu abstraksi, yaitu manusia sebagai jenis, dianggap sebagai realitas yang benar serta sempurna dan mutlak.
  •  Prinsip epistemologi yang salah: dia menyatakan sebagai prinsip umum bahwa satu- satunya objek pengetahuan manusia hanyalah kodrat manusia serta atribut- atributnya. Ketika manusia memikirkan “yang tak terbatas”, dia sebenarnya memikirkan ciri tak terbatas dari pikirannya sendiri. Objek akal budi manusia tidak lain daripada akal budi sendiri yang memikirkan dirinya; dan sama halnya dengan kemampuan- kemampuan lain: objek mereka masing- masing adalah mereka sendiri. “Seakan- akan tidak ada lagi objektifitas. Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan. Dan subjektivisme ini dijadikan suatu dogma”.

Daftar Pustaka 

Budi Hardiman, F. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia

Hamersma, Harry. 1990. Tokoh-tokoh  Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.

Lili Tjahjadi, Simon Petrus. 2006. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Kanisius.

Magnis-Suzeno, Franz. 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Senin, 12 Juni 2017

 PEMIKIRAN JEAN PAUL SARTRE


A. HIDUP DAN KARYA SARTRE
 
Jean-Paul Sartre lahir dalam tahun 1905 sebagai putra dari Jean-Batiste, seorag perwira Angkatan Laut Prancis, dan Anne-Marie Schweiter. Sejak muda, ia sudah memperlihatkan minat dan bakatnya yang besar pada karya-karya sastra. Minatnya pada filsafat tumbuh ketika ia bertemu dengan Hendri Bergson (1849-1941) di Ėncole Normale, Paris, tempat ia belajar. Antara tahun 1934-1935, Sartre menghabiskan waktunya di Institut Francais di Berlin, di mana ia mempelajari fenmonologi Husserl. Sartre menulis buku Transcenental Ego (1936) di Jerman ketika ia masih berada di Institut tersebut. Ia mengaku bahwa bukunya itu ditulis atas pengaruh dari Husserl. Di Berlin ia juga menulis novelnya yang terkenal La Nausėe (rasa mual) yang dianggapnya sendiri sebagai karyanya yang terbaik sampai akhir kariernya.
Selama perang dunia II, Sartre aktif dalam gerakan pertahanan Prancis sampai menjadi seorang tawanan perang tentara Jerman. Di kamp tahanan perang, ia membaca tulisan-tulisan Heidegger. Rujukan-rujukannya kepada pemikiran Heidegger memperlihatkan bahwa pemikiran Heidegger amat berpengaruh atasnya. Ini terutama kelihatan dalam karya monumentalnya L’Ėtre et le Nėant (Being and Nothingness, Ada dan Ketiadaan). Sartre banyak menulis buku-buku dan ia menghasilkan lebih dari 30 volume buku dan sebagai kelanjutan dari Being and Nothingness (1943), ia menulis karyanya yang besar Critique of Dialectical Reason (1960). Bukunya yang terakhir adalah suatu karya tiga volume tentang Fleubert, berjudul The Idiot of the Familiy, 1971-1972. Sartre adalah orang yang komitmen pada kebebasan dan hal ini menyebabkan ia menolak menerima hadiah nobel untuk bidang sastra yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1964. Alasanya,  “saya tidak mau dijelmakan ke dalam ikatan situasi”. Sartre hidup sederhana dengan harta milik yang tidak seberapa di suatu apartemen kecil di Paris. Kesehatannya menurun dan hampir buta. Ia akhirnya meninggal pada tanggal 15 April 1980, dalam usia tujuh puluh empat tahun.

B. MANUSIA DAN KEBEBASANNYA

Nama Sartre sering diidentifikasikan dengan eksistensialisme, karena ia selalu merujuk pada tulisan-tulisan filsuf lain yang membahas tentang eksistensialisme. Pikirannya tentang eksistensialisme tertuang dalam tulisannya L’Existensialisme est un humanisme, suatu materi kuliah yang dipublikasikannya dalam tahun 1946. Usaha untuk memahami pemikirannya tentang manusia dan kebebasannya adalah baik jika diawali dengan usaha untuk memahami pemahamannya mengenai eksistensi dan esensi manusia.
1.     Eksistensi dan Essensi Manusia: Usaha Memahami Kebebasan.

Selama masa hidupnya, Sartre hampir menaruh sebagian besar studi filsafatnya pada eksistensi individu manusia. Hasilnya, ia merumuskan inti prinsip dasar eksistensialisme: eksistensi mendahului esensi.[1] Bagaimana formulasi ini membantu kita memahami hakikat manusia?
Sartre berpendapat bahwa usaha untuk menjelaskan kenyataan adanya manusia tidak sama dengan kenyataan adanya benda-benda. Maksud implisit yang mau ditampikan Sartre di sini yakni bahwa manusia itu memiliki martabat yang luhur melebihi benda-benda yang ada. Penekanan pada manusia subyek ini, sekaligus juga hendak mengungkapkan adanya suatu kebebasan dalam diri setiap orang untuk menjadikan dirinya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkannya. Manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat (esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Itu berarti bahwa manusia adalah “sesuatu “ yang menggerakan dirinya sendiri menuju ke masa depan dan gerakan itu sungguh disadarinya. Gerakan ke depan ini membuka kemungkinan dan peluang bagi dirinya sendiri untuk secara bebas menentukan apa yang diinginkan dirinya untuknya sendiri. Inilah yang dimaksudkan Sartre dengan esensi manusia: menentukan dirinya sendiri tanpa intervensi dan campur tangan orang ataupun pihak lain. Akan tetapi, baginya, penentuan ini  hanya dapat terjadi jika manusia telah berada lebih dahulu. Beradanya manusia disebutnya dengan istilah ėrtre pour-soi, being for itself, cara berada yang terbuka, dinamis, dan dengan kesadaran subyektif.[2] Suatu kenyataan yang berbeda dengan benda-benda yang cara beradanya diistilahkan Sartre dengan ėrtre en-soi. Yang dimaksudkan dengan cara berada ini yakni cara berada yang bersifat tertutup, statis, pasif, dan tanpa kesadaran.
  1. 2. Manusia adalah Kebebasan yang Memilih dan Memutuskan.
Sartre berpendapat bahwa hekikat manusia adalah kebebasan dan kebebasan manusia itu bersifat mutlak.[3] Lagi, kebebasan itu hanya dimiliki oleh manusia semata.[4] Merupakan suatu kemutlakkan karena inilah yang menjadi syarat bagi pengembangan dan pembangunan diri manusia. Human rality is free, bassically and completely free.[5] Sedangkan kebebasan nampak dalam kenyataan bahwa manusia adalah bukan dirinya sendiri, melainkan selalu berada dalam situasi menjadi diri sendiri. Situasi di mana manusia dituntut untuk tidak berhenti pada dirinya sendiri melainkan berusaha untuk mengubah dirinya. Usaha ini disertai dengan pelbagai keputusan atas pilihan-pilihan yang dapat dipilih manusia itu sendiri. Dalam usaha ini manusia bertindak seorang diri saja tanpa orang lain menolong atau berasamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya sendiri dan untuk seluruh umat manusia. Dalam memutuskan, saya tidak mempunyai bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan itu benar.
Sampai di sini, Sartre hanya mau menarik perhatian pada salah satu dari pengalaman manusia yang paling jelas, yaitu bahwa semua manusia harus memilih, harus mengambil keputusan dan walaupun tanpa penentuan yang otoritatif, manusia harus memilih. Pengambilan keputusan ini berkaitan langsung dengan penentuan esensi dari manusia itu sendiri. Jadi, manusia adalah individu yang lebih dahulu bereksistensi dan kemudian ia sendiri menentukan esensinya dengan membuat pilihan-pilihan bebas atas pelbagai kemungkinan yang dihadapinya. Pilihan dalam penentuan hidup ini adalah suatu bentuk dari proyek yang diusahakan manusia baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap dunia. Terhadap diri sendiri, manusia mengusahakan suatu proyek yang bertujuan untuk mencapai suatu kemungkinan dalam eksisteninya. Kemungkinan-kemungkinan itu sambung menyambung sepanjang manusia masih bereksistensi. Dan usaha ini terjadi dalam dunia karena manusia adalah being-in-the world.[6]
  1. 3. Kebebasan Manusia Menuntut Tanggung Jawab Terhadap Diri Sendiri dan Sesama
Manusia bebas menentukan apa yang menjadi esensi dirinya. Dan penentuan ini dilakukannya dengan membuat pilihan-pilihan. Akan tetapi, kebebasan membuat pilihan ini disertai dengan rasa takut yang mendalam, karena dengan pilihan itu  manusia menyatakan tanggung jawabnya bukan terhadap dirinya sendiri tapi juga terhadap orang-orang lain. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar ia berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia.[7] Menurutnya, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu, menyadari bahwa ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu pula ia talah bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan semua orang, dan pada saat itu pula manusia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab menyeluruh. Demikian dikatannya bahwa kita bertanggung jawab atas keseluruhan eksistansi kita dan bahkan kita bertanggung jawab atas semua manusia, karena terus menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sekaligus kita juga memilih untuk orang lain. Terhadap diri sendiri, manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab kepada alam rasanya. Manusia sepenuhnya bertanggung jawab, bahkan terhadap alam rasanya, karena perasaannya justru dibentuk oleh perbuatannya sendiri.
Dalam kaitan dengan sesama sebagai bagian dari kenyataan eksistensi manusia yang ada bersama secara bebas, Sartre juga berpendapat bahwa kebebasan saya harus juga memperhitungkan kebebasan orang lain. saya tidak boleh membuat kebebasan saya menjadi tujuan tanpa serentak juga membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Jadi saya bebas, tetapi dalam kebebasan saya, saya sepantasnya memberikan peluang juga kepada orang lain untuk mengungkapkan kebebasannya. Dalam konteks ini, pemberian makna pada kehidupan dan dunia kehidupan akan menjadi mungkin. Memang ia pernah menyebutkan orang lain sebagai “neraka”, tetapi kemudian ia menginginkan suatu ikatan dan ia menemukan orang lain sebagai syarat untuk eksistensinya sendiri. Dalam kaitan dengan ini, ia pernah menyampaikan pandangannya tentang relasi dengan orang lain sebagai berikut: hakekat relasi-relasi antara manusia ternyata adalah konflik: orang lain membuat saya menjadi obyek atau saya membuat hal yang sama pada orang lain. Manusia hanya akan lebih dekat satu dengan yang lain, kalau bergabung melawan orang ketiga, karena dengan demikian akan muncul “kita” yang obyektif.[8] Konteks pandangannya ini hendak memberi kritik pada kenyataan hidup manusia yang terbelenggu dalam kebiasaan menjadikan orang lain sebagai obyek yang berfungsi sebagai sarana bagi pengembangan diri sendiri.
4.   Kebebasan Manusia Sebagai Dalam Kaitan Dengan Eksistensi Tuhan

Penegasan Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi sebetulnya sudah menyisyarakatkan adanya penyangkalannya terhadap eksisteni Tuhan. Apa yang hendak disampaikan tentang Tuhan dalam kaitannya dengan kalimat tersebut? Inti dari pembicaraan Sartre tentang Tuhan yakni bahwa ia menyangkal adanya eksistensi Tuhan. Ia mengkritik pandangan yang menempatkan Tuhan sebagai pencipta yang dengan kata lain hendak mengatakan bahwa esensi manusia sudah ada sebelumnya. Esensi yang ada pada Tuhan yang mendapatkan eksistensi dalam penciptaan atau beradanya manusia di dunia. Sartre menolak pendangan ini dengan berpendapat bahwa yang pertama ada pada manusia yakni eksisteninya kemudian esensi yang ditentukan manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau orang lain. Jika ada Tuhan yang mahatahu dan mahakuasa, menurutnya, maka segalanya yang bukan adanya Tuhan adalah ciptaanNya. Kalau begitu, dalam diri Tuhan terdapat semacam rencana penciptaan di mana esensi benda-benda, termasuk esensi manusia, telah ditentukan. Dengan demikian, seorang manusia tidak dapat berubah secara hakiki dan tidak dapat mencapai taraf tinggi daripada yang ditentukan Tuhan. Sartre menolak kenyataan ini. katanya, seandainya Tuhan ada, Ia akan merupakan identitas penuh dari ada dan kesadaran. Itulah sebabnya ia memilih secara sadar ateisme sebagai jalan hidupnya.

    “MANUSIA DAN KEBEBASAN”

    1. Manusia adalah kebebasan yang mencipta secara total, maka ia menyempurnakan dirinya sendiri, ia adalah suatu rancangan untuk masa mendatang. Jadi, kodrat (esensi) manusia tidak mungkin ditentukan, tetapi adalah terbuka sama sekali. Jadi, eksistensi mendahului esensi manusia. Seandainya Tuhan ada, Ia akan merupakan identitas penuh dari Ada dan kesadaran, dari en-soi dan pour-soi.
    2. Kita bertanggungjawab atas keseluruhan eksitensi kita dan bahkan kita bertanggung jawab atas semua manusia, karena terus menerus kita adalah manusia yang memilih dan dengan memilih diri kita sendiri sekaligus kita juga memilih juga untuk semua orang.
    3. Hakekat relasi-relasi antara manusia ternyata adalah konflik: orang lain membuat saya menjadi obyek atau saya membuat hal yang sama pada orang lain. Manusia hanya akan lebih dekat satu dengan yang lain, kalau bergabung melawan orang ketiga, karena dengan demikian akan muncul “kita” yang obyektif.







Sabtu, 27 Mei 2017

1.      Tahap Teologis

Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.

Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri(polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.

Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.


2.      Tahap Metafisik

Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.

Tahap positif

Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.

                                            

3.      Positivisme

Positivisme diturunkan dari kata positif, filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif. Positivisme hanya membatasi diri pada apa yang tampak, segala gejala. Dengan demikian positivisme mengesampingkan metafisika karena metafisika bukan sesuatu yang real, yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dibuktikan. Positivisme suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Positivisme merupakan bentuk lain dari empirisme, yang mana keduanya mengedepankan pengalaman. Yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah bahwa positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman-pengalaman yang objektif, tetapi empirisme menerima juga pengalaman-pengalaman yang bersifat batiniah atau pengalaman-pengalaman subjektif.

Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:


1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.


2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.


3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti ank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalatomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.


Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.


Sebenarnya, tokoh-tokoh aliran ini sangat banyak. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme.  Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.


Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.

Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.

Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata “positif”. Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.

Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Dan sebagai konsekwensinya, Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte juga menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif.


Singkatnya, filsafat Comte  merupakan filsafat yang anti-metafisis, dimana dia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir(mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi.

Filsafat positivisme Comte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori.

Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).

Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte  berpendapat bahwa (a) gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami, (b) ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam, (c) berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.

Minggu, 14 Mei 2017

FRIEDRICH NIETZSCHE KEHENDAK BERKUASA




Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!

 

Sosok Nietzsche dikenal dengan pemikiran yang sangat unik dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi pada era abad ke-18. Dalam beberapa sumber tertentu sosok Nietzsche dikenal dengan pengaruh radikalnya. Oleh beberapa sebab, karya-karyanya bersifat ambiguitas dalam menanggapi fenomena kemanusiaan yang terjadi. Dari buah karyanya, Nietzsche menjadi orang yang berpengaruh pada pemikiran post-moderenisme. Dibalik itu, seperti yang tampak dalam sifat ego Nietzsche, filsafatnya juga salah satu pendobrak awal pemikiran eksistensi yang dikembangkan oleh para tokoh-tokoh kontemporer.
Gaya filsafatnya amat khas, yakni mengkritik segala sesuatu dan menyampaikan gagasan filosofis dengan gaya yang tidak lazim. Ia hadir sebagai semacam penentang kemapanan, baik dalam gaya bahasa, sejarah, kebudayaan, bahkan nantinya pada kemapanan hidupnya. Dalam bahasa misalnya tidak memakai gaya filsuf yang pernah mengenyam persekolahan, ia memakai bahasa sehari-hari bak seorang pakar untuk mengungkapkan apa pun yang ia katakan. Ia berwatak informal, bergairah, aforistis.
Nietzsche mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya, kalau hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi dimana organisme yang paling pantas untuk bereksistensi hiduplah yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya, maka kekuatan adalah kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Yang baik adalah yang mampu melangsungkan kehidupan, yang berjaya, dan menang; yang buruk adalah yang tidak bisa bertahan, yang terpuruk, dan kalah.
 



Konsep terpenting dalam buah karya yang melekat erat dalam beberapa tulisannya adalah “will to power”. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa Nietzsche mengembangkan konsep inti dari Schopenhauer dari kehidupan Yunani kuno yang mengadopsi gagasan-gagasan timur. Berkesimpulan, bahwa alam semesta dikendalikan oleh kehendak buta. Nietzche dalam study mencari gagasan Yunani kuno telah menyimpulkan bahwa kekuatan yang menjadi pendorong peradapan semata-mata adalah langkah untuk mencari kekuatan tertinggi (absolute) dalam mencari sebuah kekuasaan. Hal ini di pertegas Nietzsche yang tertulis dalam buku terjemahan karya Walter Kaufman, dan R.J. Hollingdale sebagai berikut:
Dunia ini adalah kehendak untuk berkuasa – dan tidak ada yang lainnya! Kaulah sendiri yang menjadi kehendak untuk berkuasa ini – dan tidak ada lagi yang lainnya!
Dari kesimpulan Nietzsche mengenai “Will to Power” adalah bahwa manusia terdorong oleh suatu “kehendak untuk berkuasa”. Dengan kata lain, jantung pergerakan tindakan yang dilakukan manusia tidak lepas dari suatu kehendak. Gagasan-gagasan ini juga meliputi beberapa aspek perasaan kerendahan hati, cinta, dan kewelas asihan (keibaan, compassion). Tetapi, fakta yang sebenarnya memperlihatkan bahwa hal ini tak lebih hanyalah suatu penyamaran yang cerdik dari Will to Power.  Dengan demikian, suatu konsep“Will to Power” dapat menjadi tolak ukur untuk memahami motif suatu tindakan sosial yang dilakukan oleh seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.
Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. Penolakan ini menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

Minggu, 16 April 2017

Komentar saya mengenai Arthur Schopenhauer setiap manusia tidak bisa hidup sendirian tetapi ia lebih suka dengan hidup kesendiriannya bersama dengan binatang kesayangannnya dikarenankan ia selalu takut dengan ancaman ancaman yang datang dalam hidupnya jika dia mempunyai teman atau istri ia tidak akan setakut itu. seseorang jika sudah waktunya untuk menikah sebaiknya menikah wanita itu bukan hanya untuk membuang waku saja akan tetapi ia akan menemani sang suami dimanaoun dan keadaan apapun, mungkin dengan dia menghina dan mengejek kaum wanita terkadang wanita takut untuk menjalin hubungan sebab itu iya mengalami kegagalan dalam pernikahan 

AJARAN-AJARAN FILSAFAT SCHOPENHAUER 


1. Filsafat Keinginan
          Schopenhauer memberikan fokus kepada investigasinya terhadap motivasi seseorang.Sebelumnya, filsuf terkemuka Hegel telah mempopulerkan konsep Zeitgeist, ide bahwa masyarakat terdiri atas kesadaran akan kolektifitas yang digerakkan di dalam sebuah arah yang jelas. Schopenhauer memfokuskan diri untuk membaca tulisan-tulisan dua filsuf terkemuka pada masa kuliahnya, yaitu Hegel dan Kant. Schopenhauer sendiri mengkritik optimisme logika yang dijelaskan oleh kedua filsuf terkemuka tersebut dan kepercayaan mereka bahwa manusia hanya didorong oleh keinginan dasar sendiri, atau Wille zum Leben (keinginan untuk hidup) yang diarahkan kepada seluruh manusia. Schopenhauer sendiri berpendapat bahwa keinginan manusia adalah sia-sia, tidak logika, tanpa pengarahan dan dengan keberadaan, juga dengan seluruh tindakan manusia di dunia. Schopenhauer berpendapat bahwa keinginan adalah sebuah keberadaan metafisikal yang mengontrol tindak hanya tindakan-tindakan individual, agent, tetapi khususnya seluruh fenomena yang bisa diamati Keinginan yang dimaksud oleh Schopenhauer ini sama dengan yang disebut dengan Kant dengan istilah sesuatu yang ada di dalamnya sendiri    Pandangan filosofis Schopenhauer melihat bahwa hidup adalah penderitaan. Schopenhauer menolak kehendak. Apalagi dengan kehendak untuk membantu orang menderita. Ajaran Schopenhauer menolak kehendak untuk hidup dan segala manifestasinya, namun ia sediri takut dengan kematian.

2. Keputusan dan Hukuman
    Schopenhauer menjelaskan seseorang yang hendak mengambil keputusan. Menurut dia, ketika kita mengambil keputusan, kita akan diperhadapkan dengan berbagai macam akibat. Oleh sebab itu, keputusan yang diambil memiliki alasan atau dasar. Keputusan-keputusan ini menjadi tidak bebas lagi bagi si pemilihnya. Pemilih itu harus diperhadapkan kepada beberapa akibat dalam sebuah keputusan. Segala tindakan yang dilakukan seseorang merupakan kebutuhan dan tanggung jawabnya. Segala kebutuhan dan tanggung jawab itu pun sudah dibawa sejak lahir dan bersifat kekal Schopenhauer juga menegaskan jika tidak ada keinginan bebas, haruskah kejahatan dihukum?

DAFTAR PUSTAKA 
 
1.http://adipustakawan01.blogspot.com/2013/06/arthur-schopenhauer-tokoh-filsafat.html 
2.http://tsuwaibah.blog.walisongo.ac.id/2013/12/07/kehendak-metafisis-arthur-schopenhauer-2/#_ftn6


Kamis, 30 Maret 2017

Pokok-Pokok Pemikiran Rene Descrates

Rene Descartes lahir di kota La Haye Totiraine, Perancis pada tanggal 31 Maret tahun 1596 M.  Dalam literatur berbahasa latin dia dikenal dengan Renatus Cartesius. Rene Descartes selain merupakan seorang filosof, dia juga seorang matematikawan Perancis. Beliau meninggal pada tanggal 11 februari 1650 M di Swedia di usia 54 tahun. Kemudian  jenazahnya dipindah  ke Perancis pada tahun 1667 M dan tengkoraknya disimpan di Museum D’historie Naturelle di Paris.

Rene Descartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertnand Russel, memang benar. Gelar itu diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat yang dictinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat, serta bukan yang lainnya.

Corak pemikiran yang rasional merupakan sebuah kontribusi pemikiran yang ia berikan kepada dunia. Selain itu, ada beberapa kontribusi berupa karya-karya buku. Karya-karyanya yang terpenting dalam bidang filsafat murni dintaranya Dicours de la Methode (1637) yang menguraikan tentang metode. Selain itu juga ada Meditations de Prima Philosophia (1642), sebuah buku yang menguraikan tentang meditasi-meditasi tentang filsafat pertama. Di dalam kedua buku inilah Descartes menuangan metodenya yang terknal itu, metode Cogito ero sum, metode keraguan Descartes.



Pokok pokok pemikiran Rene Descartes 
              1. Cargito Ergo Sum   


Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.

cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada). Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dan Descartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berfikir. Maka, Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan,ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku.

Apa sebab kebenaran ini bersifat sama sekali pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (Inggris: clearly and distinctly). Jadi, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran. 

 2. Ide ide bawaan
Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian,apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan” (Inggris: innate ideas). Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.
1.   Pemikiran
 
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.


    2.  Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna
 
            Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempuna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.

         3. Keluasan


Materi sebagai keluasan atau ekstensi ( extension ), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur

  3. Substansi 


Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatny adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna


4. Manusia 
      Descreptes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.
menghinakan empirisme, sementara rasionalisme meyakini bahwa kebenaran itu berpusat pada kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri sendiri adalah fungsi-fungdi indrawi,yang berhubungan juga dengan empirisme. Dalam kasus ini, Immanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena semuanya menunjukkan bahwa rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah sehingga Cogito ergo sum tidak lagi dianggap titik tolak yang memadai.


 Rene Decartes merupakan tokoh filsafat yang menganut paham rasinalisme yang menganggap bahwa akal adalah alat terpenting untuk memeperoleh pengetahuan. Dan menganggap bahwa pengetahuan indra dianggap sering menyesatkan. Lahir tahun 1596 M dan meninggal tahun 1650 M. Ia adalah anak ketiga dari seorang anggota parlemen inggris. Merupakan orang yang taat mengerjakan ibadah menurut ajaran Katholik, tetapi beliau juga menganut bid’ah-bid’ah Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Belajar di College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M. Beliau memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Disamping beliau juga belajar tentang filsafat, matematika, fisika, dan logika. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi, dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Dalam pendidikannya Descartes merasakan beberapa kebingungan dalam memahami berbagai aliran dalam filafat yang saling berlawanan. Dan pernah masuk tantara Belanda dan Bavaria. Dan akhirnya ia meninggal di Swedia tahun 1650 M setelah menerima panggilan Ratu Christine yang ingin belajar kepada dirinya.

Dalam pernyataanyang ia katakan Cogito ergo sum, ia menyatakan bahwa sumber keyakinan itu berasal dari keragu-raguan. Maka dari itu dalam epistemologinya Descartes dengan menggunakan metode analitis dan dengan pendekatan filsafat rasional yang mendahulukan akal ia mengatakan bahwa “ aku berfikir maka aku ada”. Dimulai dengan meragukan apa yang ada, segalanya, akan tetapi ia tidak dapat memungkiri bahwa dirinya yag sedang berfikitr tidak dapat diragukan. Maka dia mengatakan aku berfikir, maka aku ada.
Dalam ontologinya Descartes juga mengatakan bahwa agar hakikat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu substansi, atribut atau sifat dasar, dan modus. Subtansi merupakan apa yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada ,yaitu Tuhan. Atribut adalah sifat asasi mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan,yaitu pemikiran. Pemikiran adalah perbuatan jiwa berdasarkan hakekatnya sendiri, bebas dari pada tubuh. Sedangkan modus adalah sifat-sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat diubah-ubah,yaitu  pikiran- pikiran individual. Dengan itu  ia mengatak jelas bahwa roh dan jiwa memiliki sebagai sifat asasi; pemikiran, dam memiliki sebagai modinya; pikiran-pikiran individual,gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan

Daftar Pustaka 
Bakker, Anton., Metode-Metode Filsafat.  1986. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sudarsono. Ilmu Filsafat; suatu pengantar. 2008. Jakarta: Rineka Cipta.
Zubaedi. Filsafat Barat; Dari logika baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. 2010. Yogyakarta: Arruzz  Media.

Tokoh Filsafat Modern Rene Descartes

         Rene Descartes dinggap sebagai Bapak aliran filsafat pada zaman modern. Disamping seorang tokoh rasionalime, Descartes pun merupakan seorang filsuf yang ajaran filsafatnya sangat populer, kerna pndangannya yang tidak pernah goyah, tentang kebenaran tertinggi berada pada akal atau rasio manusia. Rene Descartes seorang filsuf yang tidak puas dengan filsafat Skolastik yang pandangan-pandangannya saling bertentangan, dan tidak ada kepastian disebabkan oleh miskinya metode berfikir yang tepat. Descartes mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu, jelas ia sedang berfikir. Sebab, yang sedang berfikir itu tentu ada dan jelas terang-benderang.Cogito ergo sum (saya berfikir, maka saya ada).
Rasio merupakan sumber kebenaran. Hanya rasio sajalah yang dapat membawa orang paa kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan akal yang terang benderangyang disebutnya Ideas Claires el Distinces (pikiran yang terang benderang dan terpilah-pilah). Idea terang benderang ini pemberian tuhan sebelum orang dilahirkan (ida inate : ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar.
Kerasionalan dalam berfikir Descartes membuat saya tertarik untuk mengkaji tokoh ini (Descartes). Begitu juga tentang metode cara menemukan kepastian yag ia kemukakan dalam ungkapan Cogito rgo sum ( saya berfikir, maka saya ada). Selain itu juga tentang pendapat Descares yang mengatakan bahwa roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan.
Makalah ini akan membahas beberapa pokok masalah yang terkandung di dalamnya. Diantaranya adalah biografi dari Rene Descrtes itu sendiri. Dari kelahiranya, riwayat pendidikannya, dan kondisi keluarganya, serta karya-karya monumental dari Rene Descartes itu sendiri. Kemudian pokok-pokok pemikiran beliau serta metode dan pendekatan apa yang ia pakai dalam pemikirannya tersebut. Makalah ini juga membahas tentang analisa tokoh mulai dari dukungan atas tokoh, kritik atas pemikiran tokoh, serta analisa penulis sendiri mengenai Decartes sendiri. Pembahasan berikutnya adalah mengenai epistemologi atau cara memperoleh pengetahuan yang ditawarkan Descartes dan begitu juga ontologi Descartes.
Menenai makalah tujuan dari makalah ini dibuat adalah yang petama kali merupakan sebagai tugas akhir semester dari mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika. Untuk seterusnya penulis mengharapkan dengan terselesaikannya makalah ini, pembaca dapat mengetahui lebih dalam siapa itu Rene Descartes, apa saja pemikirannya, epistemologi Decartes dalam mencari kepastian , juga ontologi Descartes.




A.    Biografi
Rene Descartes lahir di kota La Haye Totiraine, Perancis pada tanggal 31 Maret tahun 1596 M.  Dalam literatur berbahasa latin dia dikenal dengan Renatus Cartesius. Rene Descartes selain merupakan seorang filosof, dia juga seorang matematikawan Perancis. Beliau meninggal pada tanggal 11 februari 1650 M di Swedia di usia 54 tahun. Kemudian  jenazahnya dipindah  ke Perancis pada tahun 1667 M dan tengkoraknya disimpan di Museum D’historie Naturelle di Paris.
Rene Descartes dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertnand Russel, memang benar. Gelar itu diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat yang dictinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat, serta bukan yang lainnya.

Corak pemikiran yang rasional merupakan sebuah kontribusi pemikiran yang ia berikan kepada dunia. Selain itu, ada beberapa kontribusi berupa karya-karya buku. Karya-karyanya yang terpenting dalam bidang filsafat murni dintaranya Dicours de la Methode (1637) yang menguraikan tentang metode. Selain itu juga ada Meditations de Prima Philosophia (1642), sebuah buku yang menguraikan tentang meditasi-meditasi tentang filsafat pertama. Di dalam kedua buku inilah Descartes menuangan metodenya yang terknal itu, metode Cogito ero sum, metode keraguan Descartes.

Rene Descates merupakan anak ketiga dari seorang anggota Parlemen Inggris yang memiliki tanah yang cukup luas. Ketika beliau mewarisinya setelah ayahnya meninggal, beliau menjual tanah warian tersebut dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Pada tahun 1612 M, beliau pidah ke Perancis. Beliau merupakan orang yang taat mengerjakan ibadah menurut ajaran Katholik, tetapi beliau juga menganut bid’ah-bid’ah Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Terbukti dalam bukunya La Monde yang mana beliau memaparkan di dalamnya dua pemikiran bid’ah : Rotasi bumi dan keterhinggaan alam semesta. Dari tahun 1629 M sampai 1649 M, beliau menetap di Belanda.
Pendidikan pertama Descartes diperoleh dari College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M. Beliau memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Disamping beliau juga belajar tentang filsafat, matematika, fisika, dan logika. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi, dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Dalam pendidikannya Descartes merasakan beberapa kebingungan dalam memahami berbagai aliran dalam filafat yang saling berlawanan.
Pada tahun 1612 M, Descartes pergi ke Paris dan di sana beliau mendapatkan kehidupan sosial yang menjemukan yang akhirnya beliau mengasingkan diri ke Faobourg Sain German untuk mengerjakan ilmu ukur. Kemudian pada tahun 1617 M, Descartes masuk ke dalam tentara  Belanda. Selama dua tahun, beliau mengalami suasana damai dan tentram di negeri kincir angin ini, sehingga beliau dapat menjalani renungan fisafatnya. Pada tahun 1619 M, Descartes bergabung dengan tentata Bavaria. Selama musim dingin antara tahun 1619 – 1620 M, di kota ini, beliau mendapatkan pengalaman, yang kemudian dituangkan dalam buku pertamanya Discours de la Methode. Salah satu pengalaman yang unik adalah tentang mimpi yang dialami sebanyak tiga kali dalam satu malam, yang dilukiskan oleh sebagian penulis bagaikan ilham dari Tuhan. Pada tahun 1621 M, Descartes berhenti dari medan perang dan setelah berkelana ke Italia, lalu beliau menetap di Paris (1625 M.). Tiga tahun kemudian, beliu kembali masuk tentara, tetapi tidak lama beliau keluar lagi. Dan akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di Belanda. Di sinilah Descartes menetap selama 20 tahun (1629 – 1649 M.) dalam iklim kebebasan berfikir. Di negeri sinilah beliau dengan leluasa menyusun karya-karyanya di bidang ilmu dan filsafat.

Descartes menghabiskan masa hidupnya di Swedia tatkala beliau memenuhi undangan Ratu Christine yang menginginkan pelajaan-pelajaran dari Descartes. Salah satunya Ratu Christine ingin mempelajari filsafat Decartes. Pelajaran-pelajaran yang diharusakn diajarkan setiap jam lima pagi menyebabkan Descartes jatuh sakit radang paru-paru yang menjemput ajalnya pada tahun 1650 M, sebelum sempat beliau menikah. Tetapi Descartes mempunyai seorang anak perempuan kandung yang meninggal pada umur lima tahun; ini, katanya, merupakan kesedihan yang paling mendalam selama hidupnya.

B.     Metode dan Pendekatan Pemikiran Descartes
Dalam pemikiran Descartes Cogito Ergo Sum yang berarti aku berfikir maka aku ada, beliau menggunakan metode analistis kristis melalui keraguan (skeptis) dengan penyangsian. Yaitu dengan menyangsikan atau meragukan segala apa yang bisa diragukan. Descartes sendiri menyebutnya metode analitis. Descartes juga menegaskan metode lain: empirisme rasionil. Metode itu mengintregasikan segala keuntungan dari logika, analisa geometris, dan aljabar. Yang di maksud analisa geometris adalah ilmu yang menyatukan semua disiplin ilmu yang dikumpulkan dalam nama “ilmu pasti”.
Mengenai pendekatan yang digunakan Descartes dalam menganalisa pemikirannya, sudah kelihatan jelas bahwa beliau menggunakan pendekatan filsafat yang mana menganut paham rasionalisme yang sangat mengedepankan akal.
Dapat dipahami bahwasanya Rene Descartes dalam “Cogito Ergo Sum”nya menggunakan metode analitis tentang penyangsian dan dengan menggunakan pendekatan filsafat yang rasional.

C.     Pokok-Pokok Pemikiran
1.      Cogito ergo sum
Cogito Ergo Sum atau yang lebih dikenal dengan “aku berfikir maka aku ada” merupakan sebuah pemikiran yang ia hasilkan melalui sebuah meditasi keraguan yang mana pada awalnya Descartes digelisahkan oleh ketidakpastian pemikiran Skolastik dalam menghadapi hasil-hasil ilmu positif renaissance. Oleh karena itu untuk memperoleh kebenaran pasti Descartes memepunyai metode sendiri. Itu terjadi karena Descartes berpendapat bahwa dalam mempelajari filsafat diperlukan metode tersendiri agar hasil-hasilnya benar-benar logis.
cogito dimulai dari metode penyangsian. Metode penyangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Oleh karenanya kesangsian ini harus meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk juga kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggap pasti (misalnya bahwa ada suatu dunia material, bahwa saya mempunyai tubuh, bahwa tuhan ada). Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kasangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fundamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dan Descartes tidak dapat meragukan bahwa ia sedang berfikir. Maka, Cogito ergo sum: saya yang sedang menyangsikan,ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal, betapa pun besar usahaku.
Apa sebab kebenaran ini bersifat sama sekali pasti? Karena saya mengerti itu dengan jelas dan terpilah-pilah (Inggris: clearly and distinctly). Jadi, hanya yang saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran.

2.      Ide-ide bawaan
Karena kesaksian apa pun dari luar tidak dapar dipercayai, maka menurut Descartes saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dangan menggunakan norma tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian,apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri saya terutama dapat ditemukan tiga “ide bawaan” (Inggris: innate ideas). Ketiga ini yang sudah ada dalam diri saya sejak saya lahir msing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.
a.       Pemikiran
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.

b.      Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna
            Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempuna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.

c.       Keluasan
 Materi sebagai keluasan atau ekstensi ( extension ), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.




3.      Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi: Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran. Kedua, materi yang hakikatny adalah keluasan. Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk memebuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materiil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi saya ide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan dmikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia materiil lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna

4.      Manusia
Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis ( sebuah kelenjar kecil yang letaknya di bawah otak kecil). Akan tetapi, akhirnya pemecahn ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.
D.    Analisa terhadap Rene Descartes
1.      Pujian atau dukungan terhadap Rene Descartes
Bertrand Russell dalam bukunya Sejarah Filsafat Barat mengatakan bahwasanay Descartes pantas menyandang gelar The Founder of Modern Philosophy atau Bapak Filsafat Modern. Gelar itu diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat yang dictinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat, serta bukan yang lainnya.
Bertnand Russell juga mengatakan bahwa Descartes adalah orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis tinggi dan sangat dipengaruhi oleh fisika dan astronomi baru. Ada sebuah kesegaran dalam pemikirannya yang tidak ditemukan dalam pemikiran filsuf ternama sebelumnya semenjak Plato. Wataknya baik dan tidak suka menonjolkan keilmuannya, layaknya orang-orang pintar di dunia, bukannya seperti seorang murid. Wataknya ini luar biasa sempurna. Sangat beruntunglah filsafat modern karena pionirnya mempunyai cita rasa sastra yang mengagumkan. (Bertand Russell)
Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada abad pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan credo ut intelligam. dari Anselmus itu, telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda dari pendapat tokoh gereja. Apakah ada filsuf yang mampu dan berani menyelamatkan filsafat yang dicengkram oleh iman abad pertengahan itu? Tokoh itu adalah Rene Descartes.

2.      Kritik terhadap Rene Descartes
Penganut empirisme begitu kecewa dengan rasionalisme, karena telah menghinakan empirisme, sementara rasionalisme meyakini bahwa kebenaran itu berpusat pada kepastian tentang pikiran diri sendiri, sementara salah satu diri sendiri adalah fungsi-fungdi indrawi,yang berhubungan juga dengan empirisme. Dalam kasus ini, Immanuel Kant mengkritik habis-habisan, karena semuanya menunjukkan bahwa rasionalisme murni berpijak atas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang goyah sehingga Cogito ergo sum tidak lagi dianggap titik tolak yang memadai.

3.      Analisa penulis terhadap Rene Descartes
   Rene Descartes menurut penulis, merupakan seorang filsuf zaman modern yang memberikan trobosan, alternatif, dan logika baru dalam bidang filsafat. Descartes telah berhasil memberikan fondasi kepastian bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebuah dasar yang belum pernah ditemukan oleh para pendahulunya. Salah satunya yaitu bahwa filsafat pada masa lampau teerlalu mudah memasukkan penalaran yang bisa-jadi-benar (belum tentu benar) ke dalam khazanah penalaran yang sebenarnya dikhususkan bagi penalaran yang pasti. Oleh karena itu Descartes menyatakan aturan umum dalam logika dalam bukunya Discourse bahwasanya tidak boleh menerima hal apa saja sebagai hal yang benar jika tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya.
Oleh karena itu semua, penulis mengatakan bahwa Descartes pantas menyandang gelar The Founder of the Modern Philosophy karena dialah pencetus rasionalisme yang lebih mengunakan akal yang mana sebelumnya mereka masih takut akan dogma-dogma gereja.

E.     Epistemologi Pemikiran Rene Descartes
Epistemologi merupakan pembicaraan mengenai bagaimana sebuah ilmu pengetahuan diperoleh. Dalam perjalanannya mencari kepastian, Descartes telah menemukan metode tersendiri. Yaitu dengan cara meragukan semua yang dapat diragukan. Kesangsian ini dijalankan seradikal mungkin. Ia meragukan segala ilmu dan hasil-hasilnya seperti adanya kosmos fisik, termasuk badannya, dan bahkan adanya Tuhan. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendukung keragu-raguannya ini adalah kemungkinan kekeliruan panca indra, kemungkinan ia sedang mimpi, dan adanya demon jahat penipu. Ia seolah-olah bersikap sebagai seoarang skeptikus. Dan, memang pada saat itu, ajaran skeptisisme, sebagaimana dikenal dalam karya Sextus Empirious, agak menjadi popular. Menurut Descartes, untuk dapat memulai sesuatu yang baru, ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal yang pasti itu dapat ditemukan lewat keragu-raguan.

Ciri utama dari filsafatnya adalah penekanan yang ia sangat menggarisbawahi pada kenyataan bahwa satu hal kita sebagai manusia seluruhnya dapat merasa seyakin-yakinnya, --bahkan oleh orang yang mengalami keraguan yang amat sekalipun—adalah “keberadaan dirinya sendiri”. Cogito, Ergo sum ( I think, therfore I am ). Seluruh sistem filsafatnya disusun untuk menghindarkan atau menjauhkan diri dari sifat ragu-ragu yang ditimbulkan dari dirinya sendiri. Sistem filsafatnya dipersembahkan untuk menguji bagaimana sesungguhnya seseorang dapat memahami segala apa yang ada di luar dirinya (outside); bagaimana membangun kembali fondasi yang kokoh untuk sebuah keyakinann yang dapat dipertanggungjawabkan tentang hal-hal yang ada pada dunia di luar fondasi yang kokoh untuk kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Dia juga menunut bahwa kepercayaan kita sesungguhnya dimulai dari –seperti yang biasa berjaln dalam sistem berfikir deduktif dalam wilayah matematika—dari premis-premis aksiomatik tertentu, yang secara intuitif bersifat “pasti”, dan dari sana secara perlahan-lahan –lewat pengambilan kesimpulan deduktif--  ke arah kesimpulan-kesimpuln yang dapat dibuktikan secara meyakinkan dan kokoh.

F.      Ontologi Rene Descartes ( substansi-atribut-modus)
Descartes telah mencari hakikat sesuatu, akan tetapi agar hakikat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu substansi, atribu atau sifat dasar, dan modus.
Yang disebut substansi adalah apa yang berada sedemikian rupa, sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada. Substansi yang dipkirkan seperti itusebenarnya hanya ada satu yaitu Tuhan. Segala sesuatu yang lain hanay dapat  dipikirkan sebagai berada dengan pertolongan tuhan. Jadi sebutan substansi sebenarnya tidak dapat dngan cara yang sama diberikan Tuhan dan kepada hal-hal lain. Hal-hal bendawi dan rohani yang diciptakan memang dapat juga dimasukkan ke dalam pengertian substansi itu, dan dalam prakteknya Descartes memasukkan jiwa dan materi dalam pengertian substansi juga.
Yang disebut atribut adalah sifat asasi. Tiap substansi memiliki sifat asasinya sendiri, yang menentukan hakikat substansi itu. Sifat asasi ini mutlak perludan tidak dapat ditiadakan. Sifat asasi ini adanya diadakan oleh segala sifat yang lain.
Yang diebut modus (jamak dari modi) adalah segala sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat berubah.
Jelas dan teranglah sekarang bahwa segala substansi bendawi memiliki sebagai atribut atau sifat asasi; keluasan, dan memiliki sebagai modi; bentuk dan besarnya yang lahiriyah serta gerak dan perhentiannya. Dengan demikian segala benda tidk memiliki ketentuanyng kualitatif, yang menunjukkan kualitas atau mutunya. Seluruh realitas bendawi dihisabkan kedalam kuantitas atau bilangan. Oleh karena itu segala hal yang bersifat bendawi pada hakikatnya adalah sama. Perbedaan-perbedaannya bukan mewujudkan hal yang asai, melainkan hanya tambahan saja.
Jelas juga bahwa roh dan jiwa memiliki sebagai sifat asasi; pemikiran, dam memiliki sebagai modinya; pikiran-pikiran individual,gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan. Roh dapat dipikirkan dengan jelasdan terpilah-pilah,tanpa memerlukan sifat asasi benda. Oleh karena itu secara apriori tiada kemungkinan yang satu mepengaruhi yang lain, sekalipun dalam praktek tamak ada pengaruhnya

KESIMPULAN

 Rene Decartes merupakan tokoh filsafat yang menganut paham rasinalisme yang menganggap bahwa akal adalah alat terpenting untuk memeperoleh pengetahuan. Dan menganggap bahwa pengetahuan indra dianggap sering menyesatkan. Lahir tahun 1596 M dan meninggal tahun 1650 M. Ia adalah anak ketiga dari seorang anggota parlemen inggris. Merupakan orang yang taat mengerjakan ibadah menurut ajaran Katholik, tetapi beliau juga menganut bid’ah-bid’ah Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Belajar di College Des Jesuites La Fleche dari tahun 1604 – 1612 M. Beliau memperoleh pengetahuan dasar tentang karya ilmiah Latin dan Yunani, bahasa Perancis, musik dan akting. Disamping beliau juga belajar tentang filsafat, matematika, fisika, dan logika. Bahkan, beliau mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, astronomi, dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Dalam pendidikannya Descartes merasakan beberapa kebingungan dalam memahami berbagai aliran dalam filafat yang saling berlawanan. Dan pernah masuk tantara Belanda dan Bavaria. Dan akhirnya ia meninggal di Swedia tahun 1650 M setelah menerima panggilan Ratu Christine yang ingin belajar kepada dirinya.
Dalam pernyataanyang ia katakan Cogito ergo sum, ia menyatakan bahwa sumber keyakinan itu berasal dari keragu-raguan. Maka dari itu dalam epistemologinya Descartes dengan menggunakan metode analitis dan dengan pendekatan filsafat rasional yang mendahulukan akal ia mengatakan bahwa “ aku berfikir maka aku ada”. Dimulai dengan meragukan apa yang ada, segalanya, akan tetapi ia tidak dapat memungkiri bahwa dirinya yag sedang berfikitr tidak dapat diragukan. Maka dia mengatakan aku berfikir, maka aku ada.
Dalam ontologinya Descartes juga mengatakan bahwa agar hakikat segala sesuatu dapat ditentukan dipergunakan pengertian-pengertian tertentu, yaitu substansi, atribut atau sifat dasar, dan modus. Subtansi merupakan apa yang berada sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk berada ,yaitu Tuhan. Atribut adalah sifat asasi mutlak perlu dan tidak dapat ditiadakan,yaitu pemikiran. Pemikiran adalah perbuatan jiwa berdasarkan hakekatnya sendiri, bebas dari pada tubuh. Sedangkan modus adalah sifat-sifat substansi yang tidak mutlak perlu dan yang dapat diubah-ubah,yaitu  pikiran- pikiran individual. Dengan itu  ia mengatak jelas bahwa roh dan jiwa memiliki sebagai sifat asasi; pemikiran, dam memiliki sebagai modinya; pikiran-pikiran individual,gagasan-gagasan dan gejala-gejala kesadaran yang lain. Roh pada jiwa pada hakikatnya berbeda dengan benda. Sifat asasi roh adalah pemikiran, sedang asasi benda adalah keluasan.